Sang Penikmat yang Patah Hati?
Aku berada di suatu
jalan sore itu. Hujan turun rintik-rintik lalu kemudian lebih deras. Hari itu matahari
sedang bersiap untuk istirahat, maka langitnya pun dibuat indah. Warnanya
jingga ke-ungu-an. “Mau pakai payung?” katanya. “Tidak usah” jawabku. Ini hari kedua
aku menolak memakai payung. Beberapa minggu lalu juga, aku memilih kebasahan di
tengah jalan ketika ingin pulang. Kapan lagi? Rasanya dulu waktu kecil aku tak
pernah mencoba untuk mandi hujan. Bukan karena takut dimarahi mama, hanya waktu
yang tak memungkinkan saja, setiap hujan pasti sedang di rumah.
Satu jam kira-kira
waktu untuk sampai ke rumah. Senangnya pulang saat matahari terbenam itu,
langitnya indah. Seperti sedang melihat lukisan, tapi yang ini tampak nyata. Aku sudah melukismu (langit) di sore ini
dalam ingatanku kataku dalam hati. Tak peduli lengan kemejaku yang sudah
lepek ataupun tubuhku yang sudah menggigil. Tak peduli dengan pengendara lain
yang memakai jas hujan sedangkan ku layaknya kucing kecil yang disirami air
terus-menerus. Kenapa rasanya seperti orang yang sedang patah hati ya? Ahh tapi siapa peduli? Toh kalaupun sakit juga
hanya aku yang menanggung. Sepanjang jalan aku hanya menatapnya sembari
bersyukur. Kamu indah, terimakasih. Kataku
pada langit.
“Jadi, siapa saja yang
sudah bersyukur karena melihatmu?” tanyaku pada langit sore.
“Banyak. Pedagang yang
masih berjualan, pengendara yang terjebak macet, orang-orang yang bersiap untuk
shalat di masjid ataupun mereka yang baru pulang dari warung dan masih banyak
lagi. Terkecuali mereka yang sedang menonton TV ataupun tertidur di rumahnya.” Jawabnya.
“Hmm.” Akupun lanjut
menatapnya.
Ingin sekali ku
bertanya pada semua orang. Apa fungsinya mata untuk mereka? Untuk melihat cara
berpakaian orang lain? Atau melihat kekurangan orang lain? Sayang sekali kalau tidak
dipergunakan dengan baik. Untukku mata adalah kamera terbaik, yang dimana hasil
fotonya akan disimpan di memori khusus. Merekam dan memotret setiap kejadian
ataupun suatu hal yang bahkan kamera tercanggih pun tak bisa melakukannya. Ah
memang benar.. semua tiada duanya kalau semua orang ingin bersyukur.
Tak terasa sudah mau
sampai di daerah rumahku. Langitnya pun sudah redup. Sehabis mengucapkan terima
kasih pada orang yang mengantarku, aku pun berlalu menuju rumah. Setelah membuka
pintu, ia malah menertawaiku. “Memangnya tidak dikasih jas hujan?” kata mama. “Nggak,
aku gamau. Hmm.. Memangnya aku benar-benar seperti kucing yang lepek ya, Ma?”. Ia
pun tertawa kecil.
Comments
Post a Comment