Pesan dari Hati
Saya selalu percaya bahwa Tuhan telah menuliskan semuanya.
Memiliki keluarga.
Dosen dan teman-teman baru.
Bertemu kembali dengan peliharaan yang sudah setahun tak bersama.
Bertabrakan dengan seseorang lalu saling meminta maaf.
Makan bareng teman satu geng dulu.
Jalan berpuluh-puluh kilo meter dengan teman baru.
Mengobrol bersama perempuan asing di depan bank
Tak sengaja bertemu teman lama di toko buku.
Berpapasan dan tak saling menyapa.
Beradu pandang kemudian melemparkan senyum.
Hanya sekedar tahu dari media social.
Chatting dan tak pernah berbicara langsung.
Semua sudah dituliskan-Nya jauh-jauh hari.
Jauh sekali, sampai saya seperti ini.
Dimana saya waktu itu hanya mengenal keluarga sebagai salah satu bagian dari kepemilikan saya.
Jauh dari bayangan.
Sampai saya harus belajar mengikhlaskan sesuatu.
Seperti teman-teman lama yang sudah saya anggap keluarga kedua, bagian dari kepemilikan saya juga.
Lalu nyatanya pun harus berpisah.
Karena kehidupan bukan hanya sekedar seluas ruang kelas.
Begitulah katanya.
Hari ini tak kenal, keesokkannya ngobrol bareng.
Siapa sangka?
Pagi hari baik-baik saja dengan Mama.
Malam nya dimarahi.
Begitulah ibaratnya.
Sehari saja tak bertemu, dirasakan kehilangannya.
Sadar itu perlu.
Apalagi peduli.
Kalau sesuatu itu tiba-tiba menghilang bagaimana?
Rindu itu bisa datang kapan saja.
Menyergap sampai ke pembuluh darah.
Hati-hati.
Hari ini kau lihat tawanya.
Esok, apa masih bisa?
Saya hanya ingatkan, jangan lupa berdoa.
Doakan kamu, dia, dan mereka.
Agar tawanya tak pernah hilang.
Entah dari pandangan ataupun ingatan.
Lebih tepatnya sih mengingatkan diri sendiri.
Yasudahlah, karangan ini khusus untukmu, Je.
Selamat malam.
Memiliki keluarga.
Dosen dan teman-teman baru.
Bertemu kembali dengan peliharaan yang sudah setahun tak bersama.
Bertabrakan dengan seseorang lalu saling meminta maaf.
Makan bareng teman satu geng dulu.
Jalan berpuluh-puluh kilo meter dengan teman baru.
Mengobrol bersama perempuan asing di depan bank
Tak sengaja bertemu teman lama di toko buku.
Berpapasan dan tak saling menyapa.
Beradu pandang kemudian melemparkan senyum.
Hanya sekedar tahu dari media social.
Chatting dan tak pernah berbicara langsung.
Semua sudah dituliskan-Nya jauh-jauh hari.
Jauh sekali, sampai saya seperti ini.
Dimana saya waktu itu hanya mengenal keluarga sebagai salah satu bagian dari kepemilikan saya.
Jauh dari bayangan.
Sampai saya harus belajar mengikhlaskan sesuatu.
Seperti teman-teman lama yang sudah saya anggap keluarga kedua, bagian dari kepemilikan saya juga.
Lalu nyatanya pun harus berpisah.
Karena kehidupan bukan hanya sekedar seluas ruang kelas.
Begitulah katanya.
Hari ini tak kenal, keesokkannya ngobrol bareng.
Siapa sangka?
Pagi hari baik-baik saja dengan Mama.
Malam nya dimarahi.
Begitulah ibaratnya.
Sehari saja tak bertemu, dirasakan kehilangannya.
Sadar itu perlu.
Apalagi peduli.
Kalau sesuatu itu tiba-tiba menghilang bagaimana?
Rindu itu bisa datang kapan saja.
Menyergap sampai ke pembuluh darah.
Hati-hati.
Hari ini kau lihat tawanya.
Esok, apa masih bisa?
Saya hanya ingatkan, jangan lupa berdoa.
Doakan kamu, dia, dan mereka.
Agar tawanya tak pernah hilang.
Entah dari pandangan ataupun ingatan.
Lebih tepatnya sih mengingatkan diri sendiri.
Yasudahlah, karangan ini khusus untukmu, Je.
Selamat malam.
Comments
Post a Comment