Pergi Bukan Berarti Hilang
Sebuah Taman yang berada di seberang
Coffee House ini kurasa belum ada satu orang pun yang mengetahuinya, kecuali aku. Mungkin
juga, Ini taman yang sudah lama tidak dikunjungi lagi. Terlihat dari keadaannya
yang terlampau sepi sejak seminggu terakhir. Saat dimana aku sedang menyusuri
jalan mencari udara segar dengan menggenggam Caffe Latte dan satu bungkusan
yang nampak bertuliskan Coffee House.
Aku menemukannya. Taman itu terletak dibalik pagar kayu seberang kedai kopi. Hanya terdapat
satu bangku yang terbuat dari kayu yang panjangnya kurang lebih satu meter dan
beberapa pohon rindang yang bertaburan disisi taman. Sejak saat itu, aku selalu
mengunjunginya.
Hari-hariku
terlihat sangat sepi, bukan berarti kosong. Yang ku punya hanya buku-buku dan
satu kutipan seru ; Always around the
world even if only in the bedroom. Benar. Aku mungkin sudah jatuh hati pada
lembaran yang setiap hari ku baca. Ragaku bisa saja sedang duduk tenang di
taman dengan kopi dan sebuah roti,
tetapi jiwaku sedang
diajak pergi jauh berkeliling dunia yang sekalipun tak pernah ku ketahui. Hari-hari
ku memang sepi bukan berarti kosong, aku hanya tidak nyaman berada disekeliling
orang yang saling membohongi hanya karena tidak ingin menyakiti satu sama lain,
dan juga terlalu menyebalkan hidup diantara orang-orang yang saling senang hati
membicarakan keburukan orang lain sebagai lelucon. Bukankah sesekali kita harus
merasakan hidup sebagai pribadi yang berbeda? Lebih peka terhadap sekitar misalnya.
Sudah
tiga tahun berlalu aku tidak mengobrol dengannya. Teman asing yang kutemui dari
sebuah obrolan acak salah satu sosial media. Aku tidak mendapatkan kabar kemana
perginya ia selama ini. Sejak awal kami bertemu yang kami punya adalah
perbedaan. Entah itu negara,
agama, dan kebudayaan.
Kami punya banyak perbedaan. Tapi ku yakin bukan perbedaan yang menyebabkan
kita tak lagi berbicara, hanya saja ada hal lain yang belum bisa ia ceritakan
padaku. Dari-Nya aku belajar menghargai sesuatu yang berbeda, belajar untuk
tidak terlalu khawatir terhadap sesuatu “
Jangan terbiasa untuk selalu khawatir, atau kamu hanya akan mendapatkan rasa
sakit.” atau “ Lebih baik menyakiti
seseorang karena kebenaran daripada membuatnya senang dengan kebohongan.”
Aku sangat ingat kata-katanya dengan jelas.
“Maukah kamu jadi teman saya?”
“Haha kenapa kamu bertanya? ini seperti
lelucon” tanyaku. Kita sudah 3 bulan mengobrol dan bercerita satu sama lain ku
kira dia sudah menganggapku sebagai teman. Tetapi ia bertanya “Apakah kamu mau jadi temanku?”. Ini konyol.
“Cepatlah. Iya atau nggak?”
“Oke lupakan.” lanjutnya.
“Iya! Aku mau jadi temanmu” cegahku.
“Telat Orang asing ...”
Percakapan itu masih ku ingat sampai
sekarang. Bahkan wajah dan tangannya seakan aku hafal betul meskipun tidak
pernah bertemu. Itu karena, dulu ia pernah mengirim sebuah foto tentangnya. Sampai
saat ini aku selalu mencoba mengiriminya pesan ke nomor telepon yang dulu
pernah ia berikan dengan harap ada keajaiban si pemilik nomor akan membacanya
suatu hari nanti. Tapi sepertinya sampai saat ini pula aku hanya menerka-nerka
keadaan.
“Tiing
Tinggg...”
Bunyi khas itu
memenuhi seluruh ruangan menandakan ada pengunjung yang datang. Siang ini
terlihat sepi, hanya ada aku. Jadi ku putuskan saja untuk membaca buku di sini.
Selesai memesan Caffe Latte
aku berjalan perlahan menuju meja dekat jendela. Kursiku tepat mengarah ke meja
sudut. Sebenarnya disini menyediakan berbagai macam koleksi novel untuk
pengunjung yang hanya sekedar menghilangkan rasa bosan. Hanya saja dihari biasa
kedai ini selalu ramai, itu sebabnya aku selalu membaca di taman dan ku biarkan
motorku terparkir disini.
“Tiing
Tinggg...” Seorang lelaki berbadan tegap jalan
memasuki kedai, tingginya kurang lebih 180 cm ia memesan sesuatu sebelum
selanjutnya duduk di meja ujung tepat di seberang mejaku. Kami berhadapan
meskipun berbeda meja dan tetap saja wajahnya tak terlalu jelas karena tertutup
topi yang ia kenakan. Tak lama pesananku datang bersamaan dengan pesanan lelaki
itu. Hampir setengah jam aku membaca entah kenapa ia tadi seperti melirikku
atau ini karena mataku yang lelah menatap buku jadi seolah-olah ia melirikku?
“Inga? Hey kamu Inga kan?” Seorang wanita menghampiriku dengan suara nyaring memenuhi ruangan.
“Eh, Iya saya Inga..” Jawabku.
Uhukk
uhuk.. Kita berdua langsung melihat ke arah lelaki
itu. Entah kenapa ia bukannya minum malah menutup wajah dengan kedua tangannya.
“Nga? Kamu masa lupa sama aku.. Aku
temen SMP kamu. Ika.” lanjutnya lagi setelah merasa terhenti pembicaraannya.
“Yang
dulu sering minta temenin ke toilet ya?” ejekku sambil meneguk kopi yang kini
tersisa setengah.
“Ihh Inga mah giliran itu aja diinget,
males deh” jawabnya dengan wajah cemberut
Tak lama lelaki itu pergi meninggalkan
Kedai yang kini hanya tersisa Aku dan Ika teman semasa sekolahku dulu. Kami
membicarakan banyak hal mulai dari kebiasaan Ika yang selalu minta ditemani bolak-balik
ke Toilet, tentang suaranya yang dari dulu tidak pernah berubah, juga tentang tiga
tahun kami sudah menjadi partner yang
cocok di kelas.
Keesokannya
aku berencana untuk membaca di taman. Rasanya aku tidak ingin diganggu seperti
kemarin, untung saja yang kemarin itu Ika. Kalau bukan, aku tidak akan pernah
mau menanggapi orang yang mengganggu waktu istirahat ku. Aku pergi memesan kopi
dan beberapa roti, setelah selesai ku bayar,
sesegera mungkin aku meninggalkan kedai. Sesampainya di depan kedai orang yang
berada di depanku tiba-tiba berhenti “Lohh
ini bukannya laki-laki yang kemarin ya?” batinku. Terlihat dari sweater yang sama seperti kemarin. Tapi
belum sempat memastikan wajahnya dia sudah berlalu melewatiku. Biarkanlah
bagiku ia tidak penting. Aku beranjak dari Kedai menyebrangi jalan raya dan
membuka pagar yang sama sekali tidak terlihat kalau itu adalah sebuah pintu
menuju taman. Aku duduk di bangku. Selalu. Tempat ini selalu nyaman sejak
pertama kali ku temukan.
“Saya boleh duduk di sini?”
aku tersentak kaget “Lohh dia kok disini? Ngikutin aku? Perasaan tadi dia baru masuk Kedai”
batinku
“Boleh.. Nggak?” tanyanya lagi
Aksen yang berbeda. Sangat
asing ku dengar.
“Boleh” jawabku mempersilahkan. Lalu ia
duduk di sampingku meminum kopi yang ia bawa. Aku mencoba meliriknya diam-diam
berharap bisa memastikan wajahnya.
“Kkhhm..” ia berdeham. “Dia merasa dilirik ya?” batinku. Aku
membenarkan posisi duduk, mencoba fokus membaca.
“Maukah kamu jadi teman saya?” tanyanya.
Ia menatap lurus ke depan. Aku terdiam. Kini aku benar-benar menghadapnya.
Bukankah itu kata-kata yang sama yang dulu diberikan teman asing ku?
“Kamu.. Arfa?” tanyaku
“Kamu beneran Arfa?” lanjutku mengintimidasi.
Ia terdiam, selanjutnya membuka topi dan mencoba mencari arah pandangku. Ia
tersenyum. Aku terdiam, kali ini benar-benar terdiam. Aku tak sangka selama ini
aku menerka-nerka dia akan membaca pesanku tetapi nyatanya dia ada disini sekarang.
“Ayo kita kenalan secara langsung”
ucapnya sambil menjulurkan tangan. Akupun menerima jabatan tangannya.
“Halo Inga. Saya Arfa. umur 22 tahun dan sampai saat
ini selalu nyari keberadaan Inga. Salam kenal” ucapnya berlapis senyuman di wajahnya.
“Halo saya Inga. Umur 22 tahun. Dan selalu nungguin pesan
dari kamu, Arfa. Salam kenal juga”
ucapku dengan senyum mengembang.
Di sinilah sekarang, aku dan Arfa
bertemu. Melanjutkan kembali suatu cerita yang sudah tertinggal jauh. Menceritakan
kembali topik yang tidak pernah bosan untuk dibahas. Yang perlu diingat adalah pergi bukan berarti hilang.
created : August 24, 2016
created : August 24, 2016
Comments
Post a Comment